Film-Film Aksi Indonesia Diangkat dari Kisah Nyata, Ada Soal Tragedi Bom di Samarinda

FILM - Beberapa poster film aksi Indonesia dari kisah nyata (Kolase: AVN Media)
AVNMEDIA.ID - Film bukan hanya sekadar hiburan semata.
Dalam banyak karya, film layar lebar menjadi medium ampuh untuk menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa kelam, mengungkap sisi manusiawi di balik tragedi, dan menyuarakan luka yang tak sempat terucap.
Sejumlah film aksi Indonesia yang diangkat dari kisah nyata hadir bukan hanya untuk menggugah emosi, tetapi juga mengingatkan kita pada kenyataan pahit yang pernah, dan mungkin masih, terjadi di negeri ini.
Dari terorisme brutal yang merenggut nyawa petugas negara dan anak-anak tak berdosa, hingga gejolak reformasi yang mengubah arah bangsa, film-film aksi ini merekam jejak sejarah dari sudut pandang paling dekat, yakni keluarga, cinta, dan keberanian bertahan.
Inilah deretan film aksi Indonesia yang berangkat dari kisah nyata.
1. Sayap-Sayap Patah (2022)

Sejak dirilis pada 18 Agustus 2022, film Sayap-Sayap Patah garapan sutradara ternama Rudi Soedjarwo hadir serentak di bioskop seluruh Indonesia.
Tak sekadar hiburan, film Sayap-Sayap Patah menyuguhkan potret nyata dari salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah keamanan Indonesia, kerusuhan berdarah di Rutan Mako Brimob pada tahun 2018.
Dalam peristiwa tersebut, lima anggota Brimob gugur, salah satunya adalah Iptu Yudi Rospuji, yang wafat secara tragis usai mengalami penyiksaan keji oleh narapidana terorisme.
Serangan brutal tersebut dilakukan oleh 155 napi yang berhasil membobol rutan dan menyebabkan kekacauan besar pada malam 8 Mei 2018.
Kisah Iptu Yudi kemudian diangkat ke layar lebar lewat tokoh "Aji" yang diperankan oleh Nicholas Saputra.
Dalam film Sayap-Sayap Patah, Aji digambarkan sebagai sosok anggota kepolisian yang tewas dalam aksi kerusuhan, meninggalkan istrinya yang tengah mengandung buah hati mereka.
Ariel Tatum memerankan karakter sang istri yang menggambarkan duka mendalam dari keluarga yang ditinggalkan.
Fakta di balik film Sayap-Sayap Patah ini sungguh menyayat hati.
Iptu Yudi Rospuji, anggota Densus 88 yang baru saja ditugaskan ke Mako Brimob, ikut menjadi korban dalam malam penuh horor tersebut.
Kerusuhan dipicu dari cekcok terkait pemeriksaan makanan kiriman keluarga, yang berkembang menjadi kekacauan besar.
Para napi bahkan sempat merebut senjata dan menyandera satu anggota Densus.
Lebih dari sekadar nama, Yudi Rospuji adalah prajurit berdedikasi yang pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Sabhara Polda Metro Jaya BKO KPK.
Ia dikenal karena kiprahnya dalam pengamanan sidang-sidang besar, termasuk kasus e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.
Kepergian Yudi pada 10 Mei 2018 meninggalkan luka mendalam, terutama bagi istrinya yang kala itu tengah hamil tua anak keempat mereka.
Film Sayap-Sayap Patah bukan hanya menyentuh dari sisi sinematik, tetapi juga menjadi pengingat betapa besar pengorbanan para pahlawan yang gugur dalam menjaga keamanan bangsa.
2. Sayap-Sayap Patah 2: Olivia (2025)

Setelah sukses menyentuh hati penonton lewat film pertamanya, Sayap-Sayap Patah kini kembali hadir dengan sekuel yang tak kalah emosional.
Diproduksi oleh Denny Siregar Production, film Sayap-Sayap Patah 2: Olivia ini memperluas semesta cerita dengan menghadirkan Arya Saloka sebagai pemeran utama, menggantikan Nicholas Saputra.
Jika film Sayap-Sayap Patah pertama menyoroti kisah cinta tragis antara Aji (Nicholas Saputra), seorang anggota Densus 88, dan istrinya Nani (Ariel Tatum), maka Sayap-Sayap Patah 2: Olivia membawa kita menyelami perjuangan seorang ayah tunggal, Pandu (Arya Saloka), dalam membesarkan putrinya, Olivia (Myesha Lin), usai kehilangan sang istri tercinta.
Sayap-Sayap Patah dan Sayap-Sayap Patah 2: Olivia diangkat dari peristiwa nyata yang mengguncang Indonesia.
Tak kalah menyayat hati, film Sayap-Sayap Patah 2: Olivia ini juga didasarkan pada kisah nyata, yakni tragedi bom yang mengguncang Gereja Oikumene di Samarinda pada tahun 2016.
Ledakan bom tersebut melukai lima orang, empat di antaranya mengalami luka bakar serius, termasuk seorang balita bernama Intan Olivia yang akhirnya menghembuskan napas terakhirnya setelah dirawat di rumah sakit.
Nama “Olivia” dalam film Sayap-Sayap Patah 2: Olivia diambil untuk mengenang sang korban kecil yang menjadi simbol kepedihan sekaligus harapan.
Denny Siregar, sang produser, mengungkapkan bahwa Sayap-Sayap Patah dibuat sebagai trilogi.
Ia ingin mengajak publik melihat bagaimana jaringan terorisme bukan hanya serangkaian peristiwa, tapi sebuah lingkaran gelap yang saling berkaitan dan berdampak pada banyak jiwa tak bersalah.
Sekuel Sayap-Sayap Patah 2: Olivia ini bukan hanya kisah tentang kehilangan dan luka, tapi juga tentang keberanian untuk bertahan, bangkit, dan menjaga nyala harapan di tengah reruntuhan.
3. 13 Bom di Jakarta (2023)

13 Bom di Jakarta bukan sekadar film aksi biasa.
Diangkat dari kisah nyata yang menggemparkan publik, film 13 Bom di Jakarta menghadirkan ketegangan luar biasa dengan narasi yang menggambarkan betapa rentannya keamanan sebuah kota di tengah ancaman teror.
Film 13 Bom di Jakarta ini menceritakan tentang Jakarta yang berada di ambang kekacauan akibat teror bom berantai.
Setiap delapan jam, ledakan mengguncang kota, dipicu oleh aksi Arok, pimpinan kelompok teroris misterius yang menuntut tebusan fantastis senilai miliaran rupiah dalam bentuk Bitcoin.
Bila tuntutannya tak dipenuhi, maka lebih banyak nyawa akan melayang.
Dalam upaya menghentikan teror tersebut, agen-agen intelijen terjun ke lapangan, termasuk dua tokoh sentral, Oscar dan William.
Namun, penyelidikan mereka tak semudah yang dibayangkan, kecurigaan terhadap penyusup dalam tim membuat misi semakin pelik.
Dengan alur penuh intrik dan ketegangan, film 13 Bom di Jakarta ini sukses mengaduk emosi sekaligus memicu adrenalin.
Disutradarai dengan cermat dan diperkuat oleh deretan aktor papan atas, film 13 Bom di Jakarta menawarkan pengalaman sinematik yang intens dan tak terlupakan.
Film 13 Bom di Jakarta didasarkan pada insiden nyata pengeboman di Mall Alam Sutera pada tahun 2015, di mana pelaku teror mengirimkan ancaman melalui dunia maya dan menuntut tebusan dalam bentuk kripto, menjadikannya sebagai salah satu kasus pertama di Indonesia dengan motif ekonomi dan jejak digital yang canggih.
Irjen Pol A. Rachmad Wibowo, yang saat itu menjabat sebagai Kasubdit IT/Cybercrime Bareskrim Polri, memberikan testimoni langsung tentang peristiwa tersebut.
Ia mengungkapkan bagaimana tim elit yang dipimpin oleh tokoh-tokoh penting kepolisian, seperti Komjen Pol Martinus Hukom, Irjen Pol Khrisna Murti, dan lainnya berupaya membongkar identitas pelaku, yang ternyata adalah seorang pegawai outsourcing dengan kemampuan IT tinggi.
Ia bahkan menggunakan dark web untuk memperoleh bom dan alat-alatnya, serta mengaburkan jejaknya secara digital.
Menariknya, film 13 Bom di Jakarta ini juga menampilkan kerja sama dengan tokoh nyata, seperti Oscar Darmawan, CEO Indodax, yang membantu pelacakan aliran dana kripto sang pelaku.
Rachmad memberikan apresiasi tinggi terhadap film 13 Bom di Jakarta, menyebutnya sebagai karya yang tak hanya memukau dari sisi aksi, tapi juga penting secara edukatif.
Menurutnya, film 13 Bom di Jakarta berhasil menyampaikan pesan kuat tentang bahaya penyalahgunaan teknologi dan pentingnya kewaspadaan terhadap ancaman digital di era modern.
Ia juga berharap film-film bertema keamanan digital dan terorisme semacam ini terus diproduksi demi meningkatkan kesadaran masyarakat.
Dengan paduan antara fakta, aksi menegangkan, dan isu aktual, film 13 Bom di Jakarta menjadi bukan hanya tontonan yang memikat, tetapi juga peringatan penting tentang betapa nyatanya ancaman dunia maya terhadap keamanan publik.
4. Di Balik 98 (2015)

Judul film Di Balik 98 terdengar gagah, nyaris seperti pengungkapan kebenaran dari tragedi Mei 1998, salah satu titik kelam dalam sejarah Indonesia yang masih menyisakan tanda tanya besar.
Namun, sang sutradara Lukman Sardi justru menegaskan bahwa film Di Balik 98 ini bukanlah upaya untuk membedah fakta sejarah secara gamblang.
“Film ini bukan tentang membongkar peristiwa ’98. Bukan kapasitas saya untuk itu. Ini film tentang cinta, tentang keluarga,” ujar Lukman Sardi saat konferensi pers di Djakarta Theater (7/1/2015).
Sebagai debut penyutradaraannya, film Di Balik 98 mengangkat kisah fiksi yang berakar pada latar nyata gejolak reformasi.
Alur film ini terbagi menjadi beberapa cabang cerita.
Salah satunya adalah Diana (diperankan Chelsea Islan), mahasiswi Trisakti yang idealis dan vokal dalam demonstrasi, meski hal tersebut menimbulkan konflik dalam keluarganya.
Ada pula kisah seorang ayah polos (Teuku Rifnu Wikana), manusia gerobak yang berjuang membesarkan anaknya di kerasnya Jakarta.
Seluruh karakter dihubungkan oleh satu benang merah, riuhnya peristiwa Mei 1998.
Sebagai film berlatar peristiwa besar bangsa, tentu tak semua tokoh berasal dari fiksi.
Beberapa sosok nyata turut dihadirkan, termasuk Presiden Soeharto.
Diperankan oleh Amoroso Katamsi, Lukman Sardi mencoba menyuguhkan sisi manusiawi dari sang penguasa di ujung masa jabatannya.
Sosok Soeharto digambarkan melankolis, diam, penuh kontemplasi, memandang foto keluarga, menatap jendela dengan sorot mata kosong, seolah tahu akhir kekuasaannya sudah dekat.
Lukman mengakui bahwa adegan-adegan ini adalah hasil interpretasi kreatifnya sebagai sutradara.
Meski Lukman menekankan bahwa film Di Balik 98 ini adalah drama keluarga berlatar sejarah, beberapa adegan politik tetap ditampilkan secara mencolok, seperti saat Jenderal Wiranto mengumpulkan jajaran TNI, atau Harmoko yang bersiap menggelar konferensi pers mendesak Soeharto untuk mundur.
Menurut Lukman, elemen-elemen itu diperlukan untuk menguatkan atmosfer dan kedalaman karakter dalam cerita.
Untuk membangun akurasi dan kredibilitas, Lukman merujuk pada sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, termasuk buku Detik-Detik yang Menentukan karya B.J. Habibie.
Produser film Di Balik 98, Affandi Abdul Rachman, menambahkan bahwa proses riset melibatkan diskusi dengan sejumlah tokoh politik era tersebut.
Fokus mereka bukan pada kontroversi atau detail yang masih diperdebatkan, melainkan pada sisi-sisi manusiawi dari reformasi itu sendiri.
“Kami ingin menampilkan emosi yang nyata dari masa itu, bukan sekadar kronologi peristiwa,” kata Affandi.
Namun, niat Lukman dan Affandi untuk mengajak penonton menyelami sisi emosional reformasi tak lantas membuat film Di Balik 98 ini bebas dari kontroversi.
Bahkan sebelum tayang, film Di Balik 98 sudah menuai kritik.
Adian Napitupulu, mantan aktivis 1998 sekaligus anggota DPR RI dari PDI Perjuangan, sempat meragukan independensi film Di Balik 98 ini.
Dalam pernyataan tertulisnya, ia menyebut kabar bahwa Wiranto ikut terlibat dalam pendanaan film Di Balik 98 dan berharap karya ini tidak menjadi sarana “memutihkan” sejarah.
Menanggapi isu itu, Lukman dengan tegas membantah keterlibatan Wiranto dan meminta semua pihak untuk menonton film Di Balik 98 terlebih dahulu sebelum menjatuhkan penilaian.
Ia menegaskan bahwa film Di Balik 98 ini bukan tentang pembenaran sejarah, melainkan tentang pengalaman batin para tokohnya. (apr)