Masyarakat Kelas Menengah di Indonesia Makin Menyusut, Jadi Tanda Long Covid Economy

Ilustrasi aktivitas warga/ Kondisi masyarakat kelas menengah di Indonesia makin menyusut/ Foto: Unsplash
AVNMEDIA.ID - Perekonomian Indonesia tengah menderita "COVID jangka panjang" dalam bentuk menyusutnya kelas menengah.
Data dari Badan Pusat Statistik, hal itu terjadi karena masyarakat berjuang melawan PHK yang meluas, kenaikan suku bunga, dan deindustrialisasi.
Proporsi penduduk kelas menengah Indonesia turun dari 21,4% pada tahun 2019 menjadi 17,1% dari pada tahun 2024.
Secara angka absolut, kelas menengah menyusut sebanyak 9,5 juta orang.
"Inilah long COVID ekonomi. Ini adalah efek scarring ekonomi akibat pandemi," kata Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti saat memaparkan data terkini, dikutip dari asia.nikkei.
"Kelas menengah penting karena mereka adalah penggerak ekonomi nasional. Mereka belanja besar, dan belanja cepat." lanjutnya.
BPS menggunakan definisi kelas menengah dari Bank Dunia, yaitu orang-orang yang pengeluarannya berkisar 3,5 hingga 17 kali di atas garis kemiskinan.
Garis kemiskinan Indonesia saat ini adalah pendapatan bersih bulanan sebesar Rp 582.993 ($37,64).
Sementara mereka yang termasuk dalam kelas menengah adalah orang-orang yang menghabiskan sekitar $130 hingga $640 (antara Rp 2 juta - RP 9,6 juta) setiap bulan.
Warga asli Jakarta Timur, Mulyawan Ahmad, merupakan salah satu "korban" ekonomi COVID-19.
Ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai ahli IT di salah satu perusahaan telekomunikasi besar pada puncak pandemi tahun 2020.
Mulyawan Ahmad adalah satu dari 2,8 juta orang yang kehilangan pekerjaan selama krisis, menurut data Kementerian Ketenagakerjaan.
Ahmad awalnya optimis dengan prospeknya karena paket pesangonnya yang besar dan hanya memiliki tanggungan sekitar delapan tahun dari 20 tahun hipotek rumah yang ia miliki.
Namun ketidakmampuannya untuk mendapatkan pekerjaan penuh waktu -- ia kini berusia 49 tahun -- dan harus bergantung pada pekerjaan lepas untuk bertahan hidup, dikombinasikan dengan kenaikan suku bunga dan inflasi, telah mewarnai sentimennya.
"Saat itu, saya tidak menyangka semuanya akan menjadi begitu mahal di tahun-tahun berikutnya," kata Ahmad, yang penghasilannya turun sekitar dua pertiga dari saat ia bekerja penuh waktu.
Ahmad mengatakan pembayaran angsuran rumah, dengan suku bunga yang terus naik, telah menjadi kekhawatiran finansial terbesarnya.
"Itu adalah pos pengeluaran terbesar kedua setelah pengeluaran penting seperti makanan dan utilitas." kata Ahmad.
Fithra Faisal Hastiadi, ekonom senior di Samuel Sekuritas, mengaitkan menyusutnya kelas menengah dengan agenda pemerintah yang lebih berfokus pada 20% termiskin dan 10% terkaya dari populasi Indonesia saat ini.
"[Kelas menengah] ini tidak memenuhi syarat untuk bantuan sosial tetapi juga tidak memenuhi syarat untuk insentif pajak yang memerlukan pengeluaran besar seperti kendaraan listrik atau pembelian properti," katanya dilansir dari Nikkei Asia.
BPS melaporkan bahwa 41,67% pengeluaran kelas menengah saat ini digunakan untuk makanan, diikuti oleh 28,52% untuk perumahan.
Inflasi di Indonesia saat ini sebesar 2,12%, yang sebagian besar didorong oleh kenaikan harga bahan pokok seperti beras, lada, dan gula.
Meskipun kelas menengah menyusut, ekonomi Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang relatif kuat.
Ekonomi tumbuh lebih dari 5% dalam dua tahun terakhir dan diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2024.
Sebagian besar pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kenaikan harga komoditas.
Widyasanti dari BPS yakin bahwa dampak pandemi ini tidak akan berlangsung lama, dengan mengatakan bahwa ia yakin "pemerintah akan menerapkan kebijakan yang akan membantu ekonomi pulih kembali ke era sebelum pandemi."
Pada pertemuan dengan para ekonom senior minggu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mencatat pentingnya kelas menengah, bersama dengan calon kelas menengah yang secara bersama-sama menyumbang 81,49% dari konsumsi produk domestik bruto.
"Mempertahankan ketahanan kelas menengah merupakan tantangan yang tak terelakkan," kata Hartarto.
Namun Hastiadi berpendapat pemerintah tidak menangani tantangan tersebut dengan baik.
Kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari dan usulan pungutan sebesar 3% atas gaji untuk mensubsidi perumahan bagi kelas bawah akan semakin menggerogoti daya beli kelas menengah.
"Pemerintah harus mempertimbangkan untuk menunda kenaikan PPN dan menunggu hingga kelas menengah mencapai 25% dari populasi untuk menciptakan fondasi ekonomi yang kuat." ucapnya. (jas)
Sumber artikel: Nikkei Asia