Kekerasan Terhadap Anak di Samarinda Masih Tinggi, DPRD Ajak Masyarakat Berani Bersikap

DPRD SAMARINDA - Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti (Foto: IST)
AVNMEDIA.ID - Fenomena kekerasan terhadap anak di Kota Samarinda masih menjadi perhatian yang mengkhawatirkan.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023 tercatat 189 kasus dengan 230 anak menjadi korban.
Mirisnya, kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan terbanyak, menimpa 73 anak.
Meski pada 2024 jumlah kasus menurun menjadi 150, angka korban kekerasan seksual justru melonjak signifikan menjadi 90 anak.
Situasi ini belum menunjukkan tanda-tanda membaik.
Hingga Mei 2025, sudah ada 87 laporan kekerasan terhadap anak dengan 102 anak terdampak.
Kekerasan seksual terhadap anak perempuan masih mendominasi, diikuti oleh kekerasan fisik dan psikis.
Menyikapi kondisi tersebut, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menekankan bahwa perlindungan anak tidak bisa hanya dibebankan pada lembaga formal.
Menurutnya, keberanian masyarakat untuk melaporkan kejadian kekerasan adalah langkah awal yang sangat penting.
“Kita tidak bisa mengawasi semuanya, tapi mengungkap satu kasus saja sudah berarti besar. Jangan diam, apalagi jika itu terjadi di sekitar kita,” tegasnya, Senin (24/6/2025).
Sri Puji menyoroti pentingnya peran orang tua, khususnya dalam memastikan lingkungan sekolah tetap menjadi tempat yang aman bagi anak-anak.
Ia meminta agar para orang tua tidak ragu melapor, sekalipun pelaku adalah tenaga pendidik atau orang yang punya posisi kuat.
“Kalau terjadi di sekolah, harus dilaporkan. Dampaknya bisa sangat besar bagi psikologis anak jika dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Ia pun mengkritik masih kuatnya budaya bungkam yang berkembang di masyarakat saat menyaksikan kekerasan terhadap anak.
Padahal, menurutnya, keberanian untuk melaporkan bukan hanya bentuk keberpihakan pada korban, tapi juga langkah penting untuk menghentikan rantai kekerasan yang terus berulang.
“Ini soal tanggung jawab bersama. Semua pihak, termasuk masyarakat, punya peran penting dalam memutus siklus kekerasan,” katanya.
Terkait kasus kekerasan yang melibatkan oknum guru atau staf sekolah, Sri Puji menegaskan tak boleh ada toleransi.
Ia mendesak agar lingkungan pendidikan tidak menjadi tempat berlindung bagi pelaku.
“Jika terbukti, harus diberi sanksi tegas. Jangan sampai jabatan membuat pelaku kebal hukum,” tegasnya lagi.
Ia mendorong Dinas Pendidikan dan aparat hukum untuk lebih aktif menangani kasus kekerasan, termasuk dengan melibatkan tenaga psikolog untuk mendampingi korban agar proses pemulihan berjalan maksimal.
Sri Puji juga menyerukan diakhirinya budaya penyelesaian diam-diam terhadap kasus kekerasan anak.
“Kita semua harus berani bicara. Selama kita memilih diam, maka pelaku akan terus leluasa. Tapi kalau kita bergerak bersama, kekerasan ini tidak akan mudah lagi disembunyikan,” pungkasnya. (adv)