Drama When Life Gives You Tangerines Soroti Kehidupan Haenyeo, Wanita Laut Jeju yang Tangguh!

Kolase foto, haenyeo di Jeju dan still cut haenyeo di drama Korea When Life Gives You Tangerines/ Foto: Thisiskoreatours dan Netflix
AVNMEDIA.ID - Drama Korea terbaru berjudul When Life Gives You Tangerines telah mencuri perhatian penonton global sejak penayangannya di Netflix pada 7 Maret 2025.
Dibintangi oleh IU dan Park Bo-gum, drama ini tidak hanya menyajikan kisah cinta yang mendalam, tetapi juga menyoroti budaya unik Pulau Jeju, khususnya kehidupan haenyeo penyelam wanita tradisional yang menjadi simbol ketangguhan perempuan Korea.
Dalam serial ini, karakter ibu dari tokoh utama Ae-sun, yaitu Jeon Gwang-rye (diperankan oleh Yeom Hye-ran), digambarkan sebagai seorang haenyeo.
Kehidupan dan semangatnya sebagai penyelam wanita menjadi elemen penting dalam membentuk karakter Ae-sun.
Para penyelam wanita ini menjadi inspirasi utama cerita, menggambarkan kehidupan yang keras namun penuh makna sebuah warisan budaya yang nyata dan terus hidup di pesisir selatan Korea Selatan.
Melalui drama ini, penonton diajak menyelami sisi lain kehidupan masyarakat Jeju, sekaligus mengenal lebih dekat perjuangan para perempuan tangguh yang menghadapi lautan setiap harinya demi keluarga dan komunitas.

Di pulau Jeju, Korea Selatan, terdapat komunitas penyelam wanita tangguh yang dikenal sebagai haenyeo atau "wanita laut".
Para haenyeo memiliki kemampuan menyelam bebas tanpa bantuan alat pernapasan untuk mengumpulkan hasil laut seperti abalon, kerang, dan rumput laut.
Tradisi ini telah berlangsung selama lebih dari 1.700 tahun, dengan catatan sejarah menyebutkan aktivitas menyelam di Jeju sejak abad ke-5 Masehi, menjadi simbol kekuatan serta kemandirian perempuan di tengah masyarakat yang dahulu didominasi oleh laki-laki.
Awalnya, menyelam adalah pekerjaan laki-laki.
Namun, pada abad ke-18, jumlah haenyeo melebihi penyelam pria. Beberapa faktor, seperti tingginya angka kematian pria akibat perang dan kecelakaan laut, serta kemampuan fisik wanita yang lebih tahan terhadap suhu dingin, mendorong pergeseran ini.
Selama masa penjajahan Jepang pada abad ke-20, haenyeo diperbolehkan menjual hasil tangkapan mereka, meningkatkan peran ekonomi mereka dalam keluarga dan komunitas.
Mereka membentuk koperasi dan memimpin gerakan perlawanan terhadap kolonialisme, seperti dalam Pemberontakan Jeju tahun 1932.

Haenyeo menyelam hingga kedalaman 10 meter tanpa alat bantu pernapasan, mengandalkan kemampuan menahan napas dan pengetahuan tentang laut yang diwariskan secara turun-temurun.
Mereka bekerja hingga tujuh jam sehari selama sekitar 90 hari dalam setahun, dan dikenal dengan suara khas saat muncul ke permukaan.
Masyarakat haenyeo bersifat matriarkal, di mana wanita menjadi pencari nafkah utama, sementara pria mengurus rumah tangga.
Tradisi ini memberikan hak-hak sosial yang lebih luas bagi wanita di Jeju dibandingkan dengan wilayah lain di Korea.
Haenyeo tidak hanya dikenal karena keberanian mereka, tetapi juga karena praktik berkelanjutan yang mereka terapkan.
Mereka hanya mengambil hasil laut yang memenuhi ukuran tertentu dan menghormati musim panen, menjaga keseimbangan ekosistem laut.
Sebelum menyelam, mereka berdoa kepada dewi laut, Jamsugut, memohon keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah.

Jumlah haenyeo ini menghadapi ancaman kepunahan sejak tahun 1960-an akibat industrialisasi, perubahan ekonomi, dan minat generasi muda yang berkurang.
Dari sekitar 26.000 haenyeo pada tahun 1965, kini hanya tersisa sekitar 3.200, mayoritas berusia di atas 60 tahun.
Pemerintah Jeju berupaya melestarikan budaya ini dengan menyediakan perlengkapan selam gratis, asuransi kesehatan, dan mendirikan Museum Haenyeo pada tahun 2006.
Untuk melestarikan warisan budaya ini, UNESCO menetapkan budaya haenyeo sebagai Warisan Budaya Takbenda pada tahun 2016.
Pemerintah lokal juga menyediakan fasilitas medis, peralatan menyelam, dan dukungan lainnya untuk komunitas haenyeo.
Sementara itu, kisah haenyeo telah diangkat dalam berbagai media, termasuk dokumenter "The Last of the Sea Women" yang diproduksi oleh Malala Yousafzai dan tersedia di Apple TV+.
Selain itu, buku fotografi "The Last Mermaid" karya Peter Ash Lee menggambarkan kehidupan dan tantangan yang dihadapi haenyeo dalam konteks perubahan iklim dan modernisasi.
Selain itu, kisah haenyeo juga menjadi insipirasi drama Korea When Life Gives You Tangerines.
Salah satu yang menarik adalah, sosok nyata yaitu Hong Gyeong-ja yang menginspirasi karakter Oh Ae-sun dalam drama Korea When Life Gives You Tangerines.
Melalui karya-karya ini, dunia diajak mengenal dan menghargai warisan budaya yang unik serta semangat juang para wanita laut Jeju.
Dengan semangat kebersamaan dan ketekunan, haenyeo tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjadi simbol keberdayaan perempuan dan pelestarian alam yang patut dicontoh. (naf)