Deretan Tragedi Kelam di Balik Euforia Sepak Bola Indonesia, Kanjuruhan hingga Tragedi Haringga Sirla

POTRET - Tragedi Kanjuruhan (Foto: IST)
AVNMEDIA.ID - Sepak bola di Indonesia tak sekadar soal adu strategi dan sorak sorai di tribun, tetapi di balik gemuruhnya, tersimpan jejak kelam yang meninggalkan luka mendalam.
Sejumlah insiden tragis, baik di atas lapangan maupun di antara lautan suporter, telah mencoreng wajah olahraga ini dengan duka yang tak mudah dilupakan.
Dari bentrokan antar suporter hingga tragedi yang merenggut nyawa, semua menjadi alarm keras bahwa di balik semangat dan euforia sepak bola, tersimpan risiko yang nyata, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya.
Oleh karena itu, memahami peristiwa kelam ini penting agar kejadian serupa tidak terulang di pertandingan sepak bola ataupun olahraga lainnya di masa mendatang terkhusus di Indonesia.
1. Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan, yang terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Insiden ini terjadi setelah pertandingan Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, yang berakhir dengan kemenangan Persebaya 3–2.
Kekalahan tersebut memicu reaksi emosional dari suporter Arema, Aremania, yang kemudian menyerbu masuk ke lapangan.
Kemudian direspon aparat keamanan dengan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton tindakan yang melanggar aturan FIFA.
Upaya aparat keamanan untuk mengendalikan situasi dengan menembakkan gas air mata justru memperburuk keadaan, menyebabkan kepanikan massal dan terjadinya desak-desakan di pintu keluar stadion.
Akibatnya, 135 orang tewas dan 583 lainnya mengalami cedera, menjadikan tragedi ini sebagai yang paling mematikan dalam sejarah sepak bola Indonesia dan Asia.
Investigasi yang dilakukan oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menemukan bahwa penggunaan gas air mata di dalam stadion merupakan pelanggaran terhadap regulasi FIFA yang melarang penggunaannya dalam acara sepak bola.
Selain itu, ditemukan pula kelalaian dalam pengaturan kapasitas penonton, di mana 42.000 tiket dijual untuk stadion yang hanya mampu menampung 38.000 orang.
Tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik dalam dunia sepak bola Indonesia, memicu evaluasi menyeluruh terhadap sistem keamanan, regulasi, dan budaya suporter.
2. Tragedi Haringga Sirla
Dunia sepak bola Indonesia berduka pada 23 September 2018 saat Haringga Sirla, suporter Persija Jakarta (The Jakmania), dikeroyok hingga tewas.
Peristiwa itu terjadi di area parkir Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Bandung, oleh sekelompok oknum pendukung Persib Bandung (Bobotoh).
Haringga Sirla datang dari Cengkareng untuk menyaksikan laga klasik antara Persib vs Persija, namun saat diketahui sebagai pendukung tim tamu, ia dikejar dan diserang dengan brutal menggunakan balok kayu dan botol.
Meskipun sempat berusaha melarikan diri, Haringga Sirla meninggal akibat luka parah yang dideritanya.
Peristiwa ini memicu kemarahan dan kesedihan di kalangan masyarakat Indonesia.
PSSI, sebagai federasi sepak bola Indonesia, menghentikan sementara Liga 1 2018 untuk melakukan evaluasi dan mendinginkan suasana.
3. Suporter Meninggal Dunia Usai Persija vs Persib Imbang di 2012
Pada 27 Mei 2012, pertandingan antara Persija Jakarta dan Persib Bandung di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, berakhir imbang 2-2 dalam lanjutan Indonesia Super League (ISL) musim 2011–2012.
Namun, setelah pertandingan tersebut berakhir dengan tragis setelah 3 suporter tewas akibat pengeroyokan.
Tiga suporter yang menjadi korban tersebut adalah Rangga Cipta Nugraha (22), Lazuardi (29), dan Dani Maulana (16).
Ketiganya menjadi sasaran kekerasan oleh sejumlah oknum suporter di luar stadion setelah pertandingan berakhir imbang 2-2.
Rangga dan Dani, yang merupakan pendukung Persib, tewas akibat pengeroyokan dan penusukan oleh oknum suporter lawan.
Sementara itu, Lazuardi, yang mengenakan kaus berwarna biru, diduga diserang karena dikira pendukung Persib, meskipun ia adalah anggota The Jakmania.
4. Penjaga Gawang Persela Tak Tertolong Usai Benturan Keras Sesama Pemain
Pada 15 Oktober 2017, dunia sepak bola Indonesia berduka atas meninggalnya Choirul Huda, kiper legendaris Persela Lamongan, dalam pertandingan Liga 1 melawan Semen Padang di Stadion Surajaya, Lamongan.
Pada menit ke-44, Choirul Huda mengalami benturan keras dengan rekan setimnya, Ramon Rodrigues, saat mencoba mengamankan bola dari serangan lawan.
Benturan tersebut mengenai dada dan rahang bawah Choirul Huda, menyebabkan trauma serius yang mengakibatkan henti napas dan henti jantung.
Meskipun sempat dilarikan ke RSUD dr. Soegiri Lamongan dan mendapatkan penanganan medis, nyawanya tidak tertolong dan Choirul Huda dinyatakan meninggal dunia pada pukul 17.15 WIB.
5. Sepak Bola Gajah 1988
Sepak bola gajah adalah istilah yang digunakan di Indonesia untuk menggambarkan praktik pengaturan skor secara sengaja oleh tim-tim sepak bola demi keuntungan tertentu, biasanya untuk memengaruhi posisi klasemen, menghindari lawan kuat, atau menguntungkan tim lain.
Istilah sepak bola gajah ini mencuat dan menjadi sangat terkenal setelah insiden pada tahun 1988.
Pada 21 Febuari 1988, pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Persipura Jayapura di Stadion Gelora 10 November, Surabaya, berakhir dengan skor mencengangkan: 0-12 untuk kemenangan Persipura.
Namun, kekalahan telak tersebut bukanlah akibat dari ketidakmampuan Persebaya, melainkan karena keputusan strategis yang disengaja.
Manajer Persebaya saat itu, Agil H. Ali, menginstruksikan para pemain untuk mengalah dalam pertandingan tersebut.
Keputusan ini diambil dengan alasan kemanusiaan, yaitu untuk menjaga moral masyarakat Papua setelah tim Perseman Manokwari sebelumnya tersingkir dari kompetisi.
Selain itu, ada spekulasi bahwa Persebaya sengaja mengalah untuk menyingkirkan rival bebuyutan mereka, PSIS Semarang, dari persaingan menuju babak 6 besar.
Tindakan tersebut menimbulkan kecaman luas dari publik sepak bola Indonesia, terutama dari suporter PSIS Semarang yang merasa dirugikan. (fun/cin)