Tale of The Land, Film Masyarakat Adat Dayak Tayang di Busan International Film Festival

Poster Film "Tale of The Land" (Foto: Instagram @sheninacinnamon)
AVNMEDIA.ID - Pada tanggal 4 Oktober 2024, film Indonesia “Tale of the Land” tayang perdana secara global sebagai bagian dari program New Currents di Busan International Film Festival (BIFF). Menariknya, film ini menggunakan Bahasa Kutai dan 90% proses syuting dilakukan di atas air.
Penayangan perdana ini turut dihadiri sang sutradara Loeloe Hendra, bersama produser Yulia Evina Bhara dan Amerta Kusuma, serta pemerannya Shenina Cinnamon, Arswendy Bening Swara, dan Yusuf Mahardika.
Selama pemutaran film "Tale of the Land", diadakan sesi tanya jawab antara sutradara, para pemeran, dan penonton.
Shenina Cinnamon yang berperan sebagai May mengungkapkan bahwa setelah film "24 Jam Bersama Gaspar" (2023) dan "Penyalin Cahaya" (2021) yang membawanya, ia diundang kembali ke BIFF untuk ketiga kalinya.
Shenina Cinnamon berpikir bahwa mengambil peran May seolah dengan bertemu belahan jiwanya.
"Ketika sebuah karakter ditawarkan kepada saya, saya benar-benar percaya tawaran tersebut hanyalah bagian terakhir dari diskusi kreatif yang panjang antara sutradara dan produser. Saya selalu berusaha untuk menghargai kepercayaan tersebut dengan memberikan semua yang saya bisa,” ucap Shenina Cinnamon dalam siaran pers.
Film “Tale of the Land” menunjukkan Bahasa Kutai sebagai bahasa yang digunakan dalam dialog Shenina Cinnamon.
Kota Bangun di Kalimantan Timur dipilih sebagai lokasi syuting film "Tale of the Land", yang 90 persen syutingnya dilakukan di atas air.
Cerita "Tale of the Land" berfokus pada seorang gadis Dayak bernama May, yang terjebak dalam trauma akibat kematian orang tuanya dalam konflik tanah sehingga ia tidak bisa menginjakkan kaki di tanah.
Bersama kakeknya, Tuha, May tinggal di sebuah rumah terapung di atas danau yang jauh dari daratan.
Menurut sutradara Loeloe Hendra, karakter May merupakan simbol yang mencerminkan tantangan yang dihadapi masyarakat adat di seluruh dunia, yang tanah airnya terus mengalami perubahan akibat tekanan dari dunia modern.
Loeloe menjelaskan bahwa di Kalimantan saat ini, pemandangan alam yang indah harus bersanding dengan penggundulan hutan yang besar dan masyarakat adat terjebak dalam keterbatasan antara tradisi dan modernitas.
"Melalui genre fantasi, saya ingin menciptakan sebuah dunia di mana karakter-karakter saya akan berkembang dalam ruang liminal ini dan ketegangan yang terus-menerus terjadi antara keajaiban dan kenyataan, antara logika dan fantasi, dan antara daratan dan air,” ungkap Loeloe.
"Tale of the Land" telah ditayangkan tiga kali di BIFF 2024, yakni pada tanggal 4, 5, dan 9 Oktober. Namun, hingga kini, belum ada tanggal perilisan film ini di bioskop Indonesia. (apr)